Showing posts with label jogjakarta. Show all posts
Showing posts with label jogjakarta. Show all posts

Wednesday, February 4, 2009


Borobudur Sunrise, Pemandangan Matahari Terbit di Nirwana

Mengagumi kemegahan Borobudur di siang hari dan melihat detail setiap arca dan batu-batu berelief penyusunnya adalah sesuatu yang paling didambakan oleh jutaan orang dari berbagai negara. Namun, tak banyak orang yang menyadari bahwa Borobudur juga memiliki pemandangan unik lain, yaitu pemandangan matahari terbit yang indah dan menerpa tubuh stupa Sang Budha yang bersila di puncak candi yang berdiri sejak abad ke 9 ini.

Bila anda termasuk orang yang belum pernah menikmatinya, maka mencobanya untuk mewarnai datangnya kehidupan baru pada awal tahun tentu akan menjadi pengalaman tak terlupakan. Matahari yang terbit dengan sinar terang setidaknya bisa turut menyemangati anda menjalani kehidupan setahun ke depan, dan yang jelas bisa menjadi sebuah pengingat bahwa kebijaksanaan atau nirwana yang dilambangkan oleh puncak candi ini adalah tujuan utama hidup anda.

Untuk menikmati pemandangan matahari terbit itu, sejak sore hari anda bisa menginap di Hotel Manohara, satu-satunya hotel yang berada di kompleks Candi Borobudur. Atau, anda bisa juga mengikuti paket tur Borobudur Sunrise yang ditawarkan oleh beberapa agen tur. Tanpa itu, anda bahkan tak akan bisa masuk ke kompleks candi dan sunrise pun terlewatkan, sebab pintu gerbang masuk kawasan objek wisata ini baru dibuka sekitar pukul 7.30 WIB.

Bila menginap di Manohara, sebenarnya anda bisa berangkat naik ke Borobudur pada jam berapa pun untuk menikmati sunrise. Namun, pengelola hotel dan beberapa agen tur biasanya akan memberangkatkan anda pukul 3.30 pagi sehingga dapat berjalan santai dan tidak menunggu sunrise terlalu lama. Pemandangan sunrise sendiri biasanya akan bisa dinikmati sekitar pukul 5.00 pagi. Sebaiknya anda membawa jaket untuk mengalahkan hawa dingin dan bila perlu membawa senter untuk penerangan.

Begitu langit di timur tampak mulai terang, anda bisa bersiap untuk melihat gerak gerik matahari memunculkan diri. Sedikit saja sinar kuning kemerahan muncul, itu berarti saat fajar telah tiba di puncak Borobudur yang melambangkan nirwana ini. Sebuah keunikan ketika anda melihat sunrise di Borobudur adalah bahwa matahari seolah datang dari celah antara dua gunung, yaitu Merapi yang menjadi salah satu gunung teraktif di dunia dan Merbabu yang sering disebut kembarannya.

Saat Merapi tengah aktif mengeluarkan lava pijarnya dan kabut tak menutupi, anda bisa melihat guguran lava pijar yang menuju hulu Kali Krasak. Warna lava pijar yang merah membara akan tampak sangat terang, menjadi kontras dengan warna langit yang masih gelap. Januari 2006 lalu, puluhan wisatawan menikmati pemandangan ini dan di tengah aktivitas Merapi yang mulai meningkat akhir-akhir ini, anda tentu berpeluang untuk menikmatinya juga.

Pemandangan lain yang tak kalah menarik adalah desa-desa sekitar Borobudur yang akan tampak bila anda menatap ke bawah. Di desa-desa sekitar itulah, hingga kini pertanian dan kesenian tetap berkembang, setidaknya bisa membantu anda membayangkan kondisi desa sekitar saat candi ini didirikan. Bila kabut tebal sedang menyelimuti, anda masih bisa melihat pepohonan tinggi berwarna hijau yang muncul dari permukaan kabut.

Setiap gerak gerik matahari dapat direkam dari seberapa terang berkas sinar yang menerpa stupa Sang Budha. Kian tinggi matahari, stupa Sang Budha pun semakin terlihat terang, mengubah warna yang semula terlihat hitam menjadi abu-abu cerah. Bila memiliki kamera yang cukup bagus merekam gambar, anda bisa mengabadikan momen saat seberkas sinar matahari menerpa stupa Sang Budha dan membuat satu bagian stupa tersebut lebih terang dari bagian lain.

Saat panas matahari mulai menyengat, itulah saatnya anda mesti turun candi. Namun, jangan khawatir, anda masih bisa mengelilingi desa-desa sekitar Borobudur yang semula hanya bisa dilihat dari atas. Beberapa desa kini ditetapkan sebagai desa wisata. Anda bisa menyaksikan kesibukan penduduk bertani, membuat tembikar, memahat patung dan berbagai aktivitas lainnya. Kehadiran anda di desa itu setidaknya bisa memberi harapan bagi para penduduk yang kini kian sulit menjalani hidup.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2006 YogYES.COM

Boko Sunrise


Boko Sunrise, Melihat Matahari Terbit dari Puncak Bukit Tugel

Telah banyak orang mengunjungi Istana Ratu Boko yang semula bernama Abhayagiri Vihara, sebuah istana yang berdasarkan artinya berada di bukit penuh kedamaian. Namun, sedikit saja yang pernah merasakan kenikmatan berjalan dari lokasi istana ini dan trekking menyusuri bukit Boko pada dini hari dan menyaksikan fajar menyingsing di ufuk timur. YogYES mengajak anda menikmatinya untuk merayakan datangnya fajar baru di awal tahun.

Untuk menikmatinya, anda bisa mendaftar sebagai peserta Boko Trekking di Taman Wisata Candi. Sekali mendaftar, anda mendapatkan paket wisata berupa keliling Istana Ratu Boko, menikmati pemandangan senja di Plasa Andrawina (salah satu bangsal istana), bermalam dalam tenda dan trekking menyusuri bukit Boko melihat pemandangan matahari terbit serta melihat candi-candi di kompleks Ratu Boko. Tentu sebuah paket wisata menyenangkan di akhir tahun.

Perjalanan paling menarik, yaitu trekking untuk kemudian menikmati pemandangan matahari terbit, biasanya dimulai sekitar pukul 3 dini hari. Waktu yang sangat tepat untuk memulai perjalanan melihat fajar di awal tahun karena pasti di jam-jam sebelumnya anda akan lebih disibukkan dengan ritual meniup terompet sebagai pertanda tahun baru telah tiba. Pastikan kondisi fisik anda cukup mampu untuk berjalan setelah begadang semalam.

Medan menuju Bukit Tugel, tempat anda akan menikmati salah satu fajar terindah, sebenarnya tidak begitu sulit sehingga anda tak perlu merasa khawatir. Di samping itu, pihak penyelenggara tour telah menyediakan pemandu sehingga akan memudahkan petualangan anda yang baru pertama mendaki bukit. Namun demikian, beberapa peralatan pribadi seperti baju lapangan, helm, sepatu gunung, senter dan obat-obatan tetap perlu disiapkan.

Selama perjalanan menuju Bukit Tugel, anda memang kurang dapat melihat panorama alam sekitar karena hari masih gelap, namun anda dapat mendengar musik alam yang syahdu. Jika peka, anda bahkan dapat mengetahui saat musik alam itu mulai berganti menjelang pagi tiba, suara serangga tanah dan burung malam yang semula mendominasi digantikan oleh kok ayam, suara burung gereja dan sedikit keramaian yang ditimbulkan oleh aktivitas warga sekitar.

Perjalanan menuju Bukit Tugel melelahkan akan berakhir saat menjelang fajar sehingga anda dapat beristirahat sejenak untuk menunggu sang mentari menampakkan diri. Sambil duduk, menikmati kopi atau teh hangat yang dibawa dari tenda dan bercakap dengan teman tentu akan menyenangkan. Berbicara tentang rencana satu tahun ke depan dalam hidup masing-masing dan membuka diri terhadap masukan tentu menjadi sangat berarti.

Panorama langit mengagumkan akan tampak saat menunggu fajar tiba. Warna hitam malam akan tergantikan dengan gradasi warna kuning ke merah. Semakin lama, warna kuning akan semakin dominan menandakan matahari sudah mulai tinggi. Bila matahari telah benar-benar menghiasi pagi, maka warna langit yang semula hitam akan berganti biru dengan dihiasi awan berwarna putih. Bila anda membawa kamera, tentu menyenangkan bisa merekam setiap perubahan itu.

Begitu matahari telah terlihat bulat di ujung timur, barulah anda bisa menyaksikan pemandangan alam sekitar Bukit Tugel yang tak kalah mengagumkan. Menatap ke arah utara, anda bisa melihat Gunung Merapi yang berdiri kokoh di utara dengan bentukan serupa asap putih dari puncak gunungnya. Masih di arah utara, anda juga bisa melihat kegagahan Candi Prambanan yang menjadi candi Hindu tercantik.

Di arah lain, anda bisa melihat pemandangan kota Yogyakarta, persawahan dan pedusunan di sekitar bukit itu, beberapa candi yang terletak lebih di bawah, dan pemandangan menarik lainnya. Anda juga dibebaskan untuk menelusuri setiap sudut di Bukit Tugel itu. Setelah itu, anda akan berjalan pulang ke lokasi menginap semalam sambil menikmati pemandangan di kanan kiri trek menuju bukit Tugel.

Penulis: Yunanto Wiji Utomo
Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2006 YogYES.COM

Tuesday, February 3, 2009

Yogyakarta

Yogyakarta-Jogjakarta
Yogyakarta Special Region (Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY) is officially one of Indonesia's 32 provinces. Yogyakarta is one of the foremost cultural centers of Java. This region is located at the foot of the active Merapi volcano, Yogyakarta was in the 16th and 17th centuries the seat of the mighty Javanese empire of Mataram from which present day Yogyakarta has the best inherited of traditions. The city itself has a special charm, which seldom fails to captivate the visitor.

This province is one of the most densely populated areas of Indonesia. The city came into being in 1755, after the Mataram division into the Sultanates of Yogyakarta and Surakarta (Solo). Gamelan, classical and contemporary Javanese dances, wayang kulit (leather puppet), theater and other expressions of traditional art will keep the visitor spellbound. Local craftsmen excel in arts such batiks, silver and leather works. Next to the traditional, contemporary art has found fertile soil in Yogya's culture oriented society. ASRI, the Academy of Fine Arts is the center of arts and Yogyakarta itself has given its name to an important school of modern painting in Indonesia, perhaps best personified by the famed Indonesian impressionist, the late Affandi.

Yogyakarta is often called the main gateway to the Central Java as where it is geographically located. It stretches from Mount Merapi to the Indian Ocean. There is daily air service to Yogya from Jakarta, Surabaya and Bali as well as regular train service and easy accessibility by road. Yogyakarta is commonly considered as the modern cultural of Central Java. Although some may prefer Solo as a good runner up, Yogyakarta remains the clear front-runner for traditional dance, Wayang (traditional puppetry) and music.

Yogyakarta has more than just culture though. It is a very lively city and a shopper's delight. The main road, Malioboro Street, is always crowded and famous for its night street food-culture and street vendors. Many tourist shops and cheap hotels are concentrated along this street or in the adjoining tourist area such Sosrowijayan Street.

The key attraction of Yogyakarta is 'Kraton' (the Sultan's Palace). The Sultan's palace is the centre of Yogya's traditional life and despite the advance of modernity; it still emanates the spirit of refinement, which has been the hallmark of Yogya's art for centuries. This vast complex of decaying buildings was built in the 18th century, and is actually a walled city within the city with luxurious pavilions and in which the current Sultan still resides. Yogyakarta is also the only major city, which still has traditional 'Becak' (rickshaw-style) transport.

Geographically
Yogyakarta Special Region is geographically located almost equidistant from Indonesia's two most important international gateways, about 600 km from Jakarta and 1000 km from Bali. Yogyakarta also has excellent transport connections by bus, train or plane to the rest of Java, Sumatra, Bali and Lombok. Yogyakarta's Adisucipto Airport is in the process of changing its status in order to receive not only domestics' flights from Bali and Jakarta, but also direct charter and scheduled flights from other countries.

Geographically, Yogyakarta Special Province is situated in the Southern part of Central Java and lies between 7 degree 33' and 8 degree 12', South altitude between 110 degree and 50' East longitude. Some regencies of central Java Province surround the administrative boundaries of this region:
Southern East: Wonogiri Regency
Eastern: Klaten Regency
Northwestern: Magelang Regency
Western: Purworejo Regency
The Indonesian Ocean borders the Southern part of Yogyakarta. The borderline of the seashore stretches from West to East of which the length is around 100 km, started from Congot Beach in Kulon Progo Regency and ended at Sadeng Beach in Gunung Kidul Regency.

Because of its location, Yogyakarta is strategically positioned for the economic activity network in Java as well as for the tourist destination area. The special region of Yogyakarta lies midway on the axis of several main tourist destination areas, Jakarta and West Java westward, Central Java northward, East Java and Bali eastward. It is linked by regular rail, road and air services to other parts of Indonesian archipelago.

Climate and Weather in Yogyakarta
The average daily temperature range between 26 degree and 28 degree Celsius with its minimum 18 degree C and maximum 35 degree C respectively. Average humidity is 74% with its minimum of 65% and maximum 84% respectively. The Yogyakarta Special Region lays approximately 7 South of the equator line and is bathed in tropical; sunshine along the year. This region has a tropic climate the daily atmosphere feels a little bit hot and humid. These are only two seasons along the year, the wet or rainy seasons and dry monsoon. Usually the wet seasons begin at September and lasts about August. Generally there is no rainfalls from may to August and there fore the atmosphere feels hot and humid on the day and cool in the night and early morning. The monthly rain falling Yogyakarta varies between 3mm and 496mm in which those above 300mm take place during the month of January up to April. The heaviest rainfall usually occurs in February while the lowest commonly happens between May and October Average annually rainfall is about 1,900mm.

Populations of Yogyakarta
Based on 2000, the total population of Yogyakarta special Region amounted to 3.311.812. Yogyakarta Municipality that has 461,800 inhabitants spread over 32,50 kilometers or the average population density is thus over 14,200 persons per square kilometer. The least densely populated districts is in Gunung Kidul regency which has 720.643 inhabitants and cover 1,485 square kilometers or the density rate is 485 persons per square kilometer. Since a very long time ago the Provincial territory of Yogyakarta Special Region and its surrounding has been decently populated.
The majority residents of Yogyakarta Special Region are Javanese whose language derives from ancient Sanskrit. However, as Yogyakarta is considered to be "Indonesia's academic city" due to the numerous centers for higher learning, many of the inhabitants are student who come from all over Indonesia to study.

Culture of Yogyakarta
The culture Yogyakarta province with its status as a special region lies in the Southern part of Central Java, in the heartland of Javanese culture. As the former capital and the center of several kingdoms in the past, this region and its people are very rich in a variety of cultures. It is widely known from to historical records that the civilization, art and culture had developed well in the center of those kingdoms respectively in the Ancient Mataram Kingdom (8th - 10th Century) era, the second Mataram Kingdom (17th - 18th Century) and Sultanate Ngayogyokarto from the mid of 18th Century up today.

It should be noted that the cultural heritage from the past includes the magnificent temples, the ruins of palaces and monasteries, the various kind of traditions, cultural events, traditional folk and performing arts, architecture and other traditional activities. It is important to note that this is all part of the living culture of Yogyakarta, color of daily activities of live and the local inhabitants behavior, particularly the Javanese community with its traditional way of life and customs. Therefore, because of its culture richness and heritage, Yogyakarta has long been known as the cradle of Javanese culture.

The other legendary name for Yogyakarta City, among the elders as well as the youth generation that is the City of Art and Culture. Traditional and modern exhibition are held almost every day and night about the art of theater, pantomime, music, classic and contemporary dances, poems, etc. Those are flow in the heart of the city. Even more, there are abundant of cultural ceremony, such as Sekaten, Gunungan, Labuhan, Malioboro Fair, etc, which make the city has high value of tradition, art, and culture.

Followers

Pariwisata Indonesia © 2008 Created by Alsweiss.

Back to top